Sebentar lagi, tak kurang dari dua minggu ke depan, komunitas muslim di negeri ini bakal menjelang bulan yang ditunggu. Bulan suci, bulan penuh Berkah, bulan penuh pahala baik. Perayaan menyambut ramadhan sudah hingar bingar terdengar di bervariasi sudut. Ada segolongan yang menyambut dengan harapan bahagia, penuh gegap gempita gara-gara segala kebutuhan menjelang puasa sudah tercukupi. Ada pun yang menjelang bulan puasa tahun ini dengan kesederhanaan penuh makna.
Mengutip kembali perkataan Bung Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis legenda di negeri ini yang pernah berkata �Barang siapa memiliki sumbangan atas kemanusiaan dia tetap terhormat sepanjang zaman, bukan kehormatan sementara. Mungkin orang itu tidak mendapatkan sesuatu sukses dalam hidupnya, mungkin dia enggak mempunyai sahabat, mungkin tak memiliki kekuasaan barang secuil pun. Tetapi umat manusia bakalan menghormati karena jasa-jasanya.� �Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2�
Sebagian besar masyarakat muslim tanah cairan tentu memikirkan bulan puasa akan berjalan seakan tahun-tahun sebelumnya. Prosesi sahur, ibadah yang berkali lipat, & kebahagiaan hakiki saat berbuka. Lebih dari satu momen sahur serta berbuka puasa mungkin seringkali dihiasi dengan semuanya perilaku konsumtif. Tak ada yang melarang memang.
Namun, selaku seorang muslim yang arif, layakkah diri ini merayakan ramadhan semacam rutinitas biasa? Malahan cenderung jauh dari kesederhanaan? Cukupkah kebahagiaan bilamana dipatok berdasarkan pada jumlah ibadah fardhu yang berhasil dijalankan selagi bulan bulan puasa?
Tetapi, di sudut negeri yang lain, ada juga yang menunggu permulaan bulan puasa tahun ini dengan kegetiran nasib, kebahagiaan yang sirna, serta kebimbangan masa depan. Seolah-olah yang terjadi dan nyata dirasakan oleh saudara Kita etnis Rohingya yang terdampar di Kota Langsa, & para pengungsi risiko bencanaletusan gunung Sinabung yang tak kunjung usai.
Padahal di ujung pelosok barat negeri ini, ada sedih komunitas Rohingya serta debu pilu korban letusan lembah Sinabung. Ribuan saudara itu mungkin sampai usai bulan puasa nanti belum bisa merasakan kebahagiaan serta kemenangan hakiki. Untaian pilu era depan mereka masih berada di ujung tanduk. Entah sampai-sampai kapan kebahagiaan datang menyambut.Satu kunci, Kemanusiaan. Humanity. Satubuah konsepsi umum yang mengkaji dan menakar prihal sejauh mana rasa diri dalem urusan memanusiakan insan. Kemanusiaan yaitu satu dari sekian kunci peradaban masyarakat madani. Kemanusiaan menjabat poin ukur mengenai kebahagiaan bersama yang dapat dirasa oleh segenap umat manusia.
Berdasar atas deskripsi tersebut, akankah kian elok bahwa bulan puasa tahun ini tak hanya dibarengi dengan peningkatan nilai ibadah, nilai ketaatan dan nilai keimanan semata terhadap Sang Pemilik kebahagiaan, melainkan pula peningkatan nilai kemanusiaan yang tercermin dalem diri.
Layakkah kita, komunitas muslim yang berada dalem kecukupan nikmat di belahan bumi kepingan Jawa tertawa & menyesap bahagia? Tanpa menumbuhkan rasa kemanusiaan kita terhadap ribuan saudara pengungsi Rohingya serta Sinabung di ujung barat sana? (ijal)
Sumber
0 Komentar