Nasib Perempuan dan Anak-anak Rohingya

21.03
Pengungsi Rohingya
Jumlah  & anak-anak yang mengharap iba di Aceh setidaknya mendapat nasib sedikit makin baik ketimbang wanita & anak-anak yang berada di kamp pengungsian Thailand dan Malaysia.

Laporan yang diturunkan oleh Portal The Express Tribune atas 2 Juni lalu menceritakan bahwa setiap harinya, para perempuan muslim etnis Rohingya yang terjebak di kamp penampungan perdagangan manusia sepanjang lintas batas Thailand dan Malaysia membuat sasaran utama pemerkosaan dan kejahatan moral lain.

Menyebut etnis Rohingya, niscaya langsung terbayang dalam imaji sosok lelaki berkulit hitam, berwajah khas etnis Bangladesh yang mengharap iba. Kenyataannya, Populasi ribuan etnis Rohingya yang berlayar ribuan kilometer di tengah Samudera & kini terdampar di Aceh dan Kuala Lumpur tak sekedar lelaki dewasa saja. Di Aceh misalnya, tercatat di kamp pengungsian Kota Langsa, jumlah anak-anak pengungsi menyentuh 63 orang & 76 orang perempuan, seperti data yang dilansir oleh laman Kompas.

Sebulan terakhir, publik negeri ini ramai membicarakan seputar etnis Rohingya, membayangkan bagaimana perjuangan �insan Perahu� melintasi Samudera, terombang ambing dalam ganasnya getaran ombak, berlayar tak pasti arah. Pelayaran menyabung nyawa demi satu tujuan: melarikan diri dari kenyataan cengkraman Myanmar menuju tanah Malaysia ataupun Thailand, ataupun Malaysia. Mencari asa kemanusiaan dari beraneka macam komunitas masyarakat Asean lain.

Seorang etnis Rohingya yang berhasil melarikan diri dari kamp di perbatasan Thailand serta Malaysia bercerita kepada media bahwa para penjaga kamp perempuan Rohingya setiap malamnya yang memilih perempuan-kaum hawa muda dan bagus untuk diseret ke tempat rahasia. Di tempat tersebut, kaum hawa Rohingya diperkosa oleh penjaga beramai-gaduh.Kisah pilu di kamp Thailand serta Malaysia setidaknya memang tak hingga terjadi pada puluhan  & anak-anak yang terdampar di Aceh. Melainkan, zaman depan para  & anak-anak etnis Rohingya tetap saja berada dalam bayang-bayang pelecehan selaku etnis terbuang & marjinalitas tak berbatas.

Kebanyakan kaum hawa yang nekat melintas samudera bersama anak-anaknya menuju Malaysia serta Aceh yakni para  yang kehilangan suami serta saudara laki-lakinya dalem konflik di Rakhine. Adapula kisah para kaum hawa Rohingya yang memberanikan diri menyabung nyawa keluar dari Rakhine cuma buat menemui saudara laki-laki, ayah, suami, ataupun anak laki-lakinya yang bekerja Menjadi buruh kasar di Malaysia.

Penderitaan yang mengoyak rasa kemanusiaan insan normal sepertinya memang sudah berhenti bagi para kaum hawa dan anak-anak Rohingnya yang diselamatkan oleh komunitas masyarakat Aceh. Tetapi, kenyataannya itu hanya sementara, pemerintah Indonesia sekedar bersedia menampung ribuan pengungsi Rohingya sampai-sampai batas akhir satu tahun ke depan. Situasi tanpa pendidikan, tak punya legalitas kewarganegaraan sama sekali, dan tanpa pelindung lelaki dewasa bagi para wanita Rohingya dan anak-anak mungkin sama doang dengan bunuh diri secara perlahan. Mereka susah bakal mandiri jika hingga satu tahun ke depan tak ada komunitas yang pengen menerima mereka selaku warga zona tetap.

Entah sudah pasti dengan cara seakan apa krisis kemanusiaan Rohingya dapat tuntas berakhir. Solusi jangka panjang masih menjelma profesi rumah bagi para pekerja kemanusiaan serta seluruh Komunitas Masyarakat Asean buat memikirikan status & tahun depan para etnis Rohingya, terlebih bagi para  serta anak-anak. (ijal)

Sumber
Previous
Next Post »
0 Komentar